Monday 3 March 2014

KUMPULAN CERPEN

THE MEANING OF LOVE
Karya Grace Nandalena
Braakkk!!!!
Aku memukul meja karena kesal. Berbekal muka kusut dan bibir cemberut berhasil membuat mama berdecak melihatku.
“kenapa kok mukanya kaya di tekuk gitu?” Tanya mama dengan lembut. Ku balas dengan masuk ke kamar tanpa menghiraukan pertanyaan mama. Mama hanya menggelengkan kepalanya. Mungkin heran dengan tingkah laku anak pertamanya ini yang pulang dari sekolah membawa suasana badmood.
“uuh! Kenapa sih harus kaya gini ceritanya!! Aku selalu dapat masalah setiap aku menginginkan sesuatu. Termasuk menyukainya!!! Argh!” gurutuku kesal.
Aku mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang mempunyai nasib sial. Ya, setiap ada yang perhatian ke aku, aku selalu membiarkannya sampai 1 minggu, jika tetap perhatian, kesimpulan sememtaraku adalah dia suka kepadaku. Setidaknya simpatik padaku.
Tetapi, setelah 1 bulan ku rasa perhatiannya semakin sering menimpaku. Yang di status facebook sering kaya bales-balesan, sering sindir-sindiran, dsb. Jadi, statusku sama si-doi nyambung kalo digabungin. Jelas dan ketara banget.
Tapi aku gak GR dulu. Dan selama 3 bulan begitu mulu. Lama-lama hatiku ke bawa juga. Yang semulanya gak suka dan nganggep temen biasa, eh, malah suka.
Dan yang lebih parahnya lagi, ternyata temen yang sering curhat sama aku juga suka sama si-doi. Gila!!!
*Aku harus gimana ni?* kata yang selalu ku ucapkan ketika temenku akan mengawali curhatannya.
Padahal, temen yang suka sama si-doi gak cuma satu. Dan kebanyakan yang curhat sama aku. Ya Tuhan, kenapa engkau memberi hamba cobaan berat seperti ini.
Aku meletakkan tasku dan membuang badanku ke kasur untuk merebahan diri sembari berfikir. *Kenapa aku dulu terjebak di hatinya!!* batinku.

Tok tok tok
“masuk” ujarku. Krreeeekk! “sayang, makan dulu yuk! Kamu belum makan siang, mama sudah siapin makaman kesukaan kamu” ajak mama dengan nada lembut.
“nggak ah ma” meniarapkan tubuhku di kasur dan menyembunyikan kepalaku di bawah bantal. “aku ngantuk! Aku tidur dulu ya ma…”
“ya sudah, jangan lupa pakai selimutnya” saran mama. Aku hanya mangut-mangut membalasnya.
Aku tak mau tidur. Aku sebenarnya tak bisa tidur. Aku tak bisa melupakan dia. Aku hanya beralasan kepada mama seperti itu karena aku tak ingin melakukan apapun kecuali satu. Berfikir.
Tar! Jedyaaaaarrrrrr!!
Suara halilintar membangunkan lamunanku. Aku terkejut dan menutup telingaku. Aku ambil selimutku dan ku tutupi seluruh badanku dengan selimut.

Tapi setelah aku sadar. Aku bangun dari tempat tidurku. Mangambil baju baby doll-ku dan bergegas menuju ke kamar mandi. Hujan tidak menaklukkan-ku untuk tidak segera mandi.
“Sudah bangun sayang? Kok cepet bangun? Biasanya lama kalau tidur?” ujar mama ketika melihatku keluar dari kamar. “aku nggak bisa tidur ma. Panas!” jawabku sambil berlalu.
Mungkin sebagian anak menganggapku kurang ajar dan durhaka kepada orang tua karna tidak menjawab pertanyaan orang tua dengan sikap yang baik tetapi sambil berjalan begitu saja.
Hari ini cuaca begitu panas. Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat akan dia. Si-doi pernah duduk berdapingan denganku saat aku menunggu jemputan. Teman si-doi berdiri di sampingnya. Mereka mengobrol layaknya ibu-ibu yang sedang arisan. Topiknya berbeda dan ribet menurutku.
Ternyata 3 menit kemudian, jemputanku datang. Ah, senangnya! Aku dapat terbebas darinya.
Tapi ternyata, setelah aku naik, si-doi masih tetap memperhatikan aku sampai di ujung jalan. Dan bodohnya aku, aku juga memperhatikannya. Duh!
Aku memukul jidatku sendiri dengan telapak tanganku setelah meletakkan baju di kamar mandi karna memikirkan peristiwa itu. Ternyata aku tak dapat melupakannya.
Suara tetesan showerku mengiringi suara derasnya hujan. *ternyata sudah hujan, akhirnya suhu kembali dingin lagi* batinku.
Keluar dari kamar mandi, aku bergegas masuk ke kamar. Melewati mama yang sedang membaca majalah kesukaannya. Tetapi aku berhenti di tengah jalan. Terlintas di benakku untuk mencurahkan isi hatiku kepada mama.
Aku membalikkan badan dan menghampiri mama. “ada apa? Kok tumben duduk di sebelahnya mama?” tanya mama terheran-heran.

Aku diam.
Berfikir mencari dan menyusun kata-kata untuk memberi tahu mama semuanya. “lho? Kenapa diam?” Tanya mama sekali lagi.
“em, apa jangan-jangan ada masalah di sekolahmu sampai kamu mau cerita sama mama tapi dak berani? Ada apa sayang?” ujar mama sambil menutup majalahnya dan mengalihkan perhatiannya kepadaku.
“eumm, mah. Mama waktu suka sama papa mulai kapan?” tanyaku perlahan. Mama hanya tersenyum. Sepertinya mama mengerti mengapa aku datang mendekati mama.
“anak mama mulai suka sama orang lain ya?” Aku mangut-mangut dengan perlahan. Aku malu mengatakannya pada mama. Tidak ada yang tahu perasaanku.
“nggak papa kamu suka sama lawan jenis. Itu wajar. Mama memakluminya” Mama seperti meneguhkan hatiku. Aku mulai memberanikan diri bercerita pada mama tentang semuanya.
Mama mendengarkannya dan sesekali tersenyum karena senang. Entah apa yang ada di hati mama, aku tak tahu.

Akhirnya, aku selesai bercerita pada mama. Mama diam sejenak, lalu berkata
“Sayang, menyukai lawan jenis itu wajar. Tetapi jangan kamu terjebak di dalamnya. Banyak orang yang mengenal hal itu hingga mereka terjebak sendiri di dalam lingkaran kelam itu. Sebenarnya cinta itu suci, murni dan penuh kasih sayang. Tapi, cinta bisa jadi bumerang kita untuk menuju kematian”
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata mama mulai tidak ku mengerti, tetapi sungguh sulit ku ungkapkan. *kenapa bisa di ujung kematian?* tanyaku dalam hati.

Sepertinya mama tahu maksud expresi yang tak berbentuk ini.
“cinta itu bisa membutakan banyak orang. Sehingga kebanyakan orang tidak mau menggunakan logikanya untuk berfikir tentang cinta. Bila mereka patah hati, mereka bisa melakukan hal yang fatal untuk menyalurkan kekecewaannya. Jangan sampai hal itu terjadi padamu nak”

Aku mulai faham. Mama menasehatiku agar aku tak terjebak dalam lubang cinta.
“mengagumilah sewajarnya. Jangan berlebihan. Mama tidak melarang kamu. Tapi sebaiknya kamu fikirkan dulu baik-baik bagaimana dengan masa depan kamu” mama munutup nasehatnya dengan mengelus pelan rambutku dan meninggalkanku sendiri termenung.
Aku mulai berfikir tentang hal itu.

Dan aku mulai sedikit melupakan dia. Meskipun dia masih ada di hatiku. Aku mendengar kabar bahwa dia sedang menjalin hubungan lain dengan seorang gadis.

Aku tak menangis maupun patah hati. Ketika berita burung itu datang dan menyebar, aku tahu suatu saat akan menjadi benar berita itu. Aku tahu dari awal.
“hehf “ aku tersenyum kecil sambil menghebuskan nafas.
Aku sudah tahu. Jangan pertahankan cinta ketika cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan. Karna nasehat mama, aku tahu segalanya.
Entah sekarang berita burung itu benar atau salah. Hanya dia dan gadis itu yang tahu. Senyuman kecil menghiasi wajahku.

KISAH MANIS YANG TERKENANG
Karya Tazkiyatun Nisa
Namaku Syla. Aku anak tunggal di keluargaku. Ayah dan Ibu sangat sayang kepadaku. Jika aku menginginkan sesuatu, pasti terpenuhi. Ayah dan Ibu selalu mengontrol apa saja kegiatan yang aku lakukan di luar rumah, seperti les piano, berlatih tennis, dan kegiatan lainnya. Kadang aku kesepian di rumah, kalau ayah dan ibu belum pulang dari kantornya. “Seperti ini tah rasanya tak punya saudara kandung, tak bisa curhat, bercanda, nonton film dan karaokean bareng?” gumamku.

Menjelang Pagi
Pagi pun datang, alarm sudah berbunyi. Aku membuka mata perlahan-lahan, mengambil alarm yang ada di meja, samping tempat tidur, dan aku langsung menghentikannya. Walau mataku belum sepenuhnya terbuka, tapi aku segera bergegas ke kamar mandi. Kuambil handuk yang berwarna kuning dari dinding samping kamar mandi, lalu kurasakan dinginnya air yang mengalir di tubuhku, membangunkan jiwa ragaku. Makanya aku langsung membuka mata selebar mungkin. Setelah mandi dan Shalat Shubuh, aku langsung bersiap memakai pakaian seragam sekolahku. Sambil memasang ikat pinggang, kubuka tirai jendela kamarku yang berbalut warna biru muda itu. Kubuka jendela kamar, dan ku hirup udara segar di pagi hari, benar-benar menyejukkan dan menyehatkan. Aku kembali ke cermin, berdandan, memakai kerudung warna putih, dan bros pink yang aku jepitkan pada dada kiriku. Tak lupa aku memakai jam tangan dan kacamata berbalut warna cokelat yang tergeletak di meja ungu samping tempat tidurku.

Aku segera mengambil tas dan memakai sepatu. Aku keluar dari kamar, buru-buru menuruni anak tangga. Di bawah, ibuku yang memakai baju kantor dan berkerudung itu sudah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Kulihat ayah dan ibu sedang sarapan bersama. “Selamat Pagi!” sapaku pada Ayah dan Ibu. “Pagi anak Ibu yang cantik,” jawab Ibu sambil tersenyum manis. “Hari ini kami pulang agak sore ya, Nak!” kata Ayah. “Iya cantik, maaf ya.. kamu gapapa kan sendirian di rumah?” sambung Ibu. “Tidak apa-apa kok Bu! hehe” jawabku. Lalu aku duduk di kursi, mengambil roti dan memilih selai cokelat untuk memanjakan mulutku di pagi ini. Sesudah sarapan, aku berpamitan kepada Ayah dan Ibu. “Ibu, Ayah, aku berangkat dulu ya.. Assalamu’alaikum.” sambil mencium tangan Ayah dan Ibu. “Wa’alaikumsalam warahmatullah, hati hati ya, Nak” jawab Ayah dan Ibu serentak. Karena jalan ke sekolahku dan kantor mereka tidak searah, aku berangkat sendiri ke sekolah, tidak diantar Ayah & Ibu. Tapi aku pernah diantar oleh ayah, saat ayah sedang libur. Aku membuka pintu, lalu keluar, kudorong gerbang berwarna cokelat emas yang ada di halaman rumahku. Aku segera mencari taksi untuk mempermudah transportasi ke sekolah.

Pulang Sekolah
Aku pulang sekolah menjelang Maghrib. Aku turun dari mobil temanku, Salsha. “Pak. Aji & Salsha, makasih udah nganterin Syla pulang ke rumah” ucapku. “sama –sama Syla, kami langsung pulang ya, Assalamu’alaikum!” jawab Pak. Aji ayah Salsha. “Hati hati Pak.. Wa’alaikum salam warahmatullah” Aku langsung membuka gerbang, dan memasuki rumah. Kunaiki satu persatu anak tangga menuju kamar. Kubuka pintu kamar dan bruuk !! Aku langsung telentang di tempat tidurku. Sekitar 5 menit, aku lepas kerudungku dan bros pink nya. Selanjutnya aku pergi ke kamar mandi. Setelah mandi, Shalat Maghrib dan mengaji tubuhku terasa segar sekali. Tapi kok tiba-tiba aku ingin mendengarkan radio, tidak tahu kenapa. Aku mendengarkan Radio di HP-ku. Aku tak peduli itu stasiun apa, yang jelas aku ingin sekali mendengarkan radio. Baru ku buka, si penyiar radio di stasiun tersebut memutarkan sebuah lagu, itu lagu slow, enak didengerin deh pokoknya. Setelah selesai diputar, si penyiar itu berkata “Oke, buat para Greysonators dimanapun berada. Tadi itu lagu yang tak asing lagi buat kalian, yaitu dari GREYSON CHANCE - Home Is In Your Eyes atau biasa disebut HIIYE”. Waaw, artis itu suaranya keren sekali, aku baru tau itu artis. Waaa, good good good. Ya Allah indah sekali deh pokoknya. Aku jadi pengen liat profil artis itu. Pasti ganteng dan keren, huahaha. Besok hari Minggu, hari libur sekolah. Mungkin besok adalah saat yang tepat buat cari tahu artis itu. “Yang penting sekarang aku Shalat Isya’ dulu dan tidur, baru deh besok melanjutkan pencarian” kataku lirih. Aku membersihkan badan di kamar mandi. Setelah membersihkan badan di kamar mandi aku bergegas untuk tidur. Suara gerbang terdengar diselingi suara mobil. “Pasti itu ayah dan ibu” ucapku. Huh, aku menarik selimutku dan mematikan lampu kamar. #It’s time to sleep

Pagi Hari Sekitar Jam 8
Akhirnya waktu yang ditunggu tunggu. Aww, kucari profil lengkap juga fotonya. Aku senyum-senyum sendiri ketika melihat foto Greyson Chance. Memang benar dugaanku, dia ganteng dan keren. Dia penyanyi dari Amerika Serikat, dan hebatnya lagi dia bisa berbahasa Indonesia ya walaupun belum selancar orang Indonesia {ya iyalah}. Dia beragama Kristen, memang sih umumnya artis luar itu beragama non Islam. Ku unduh semua foto dan lagunya ke laptop. Hm, mungkin sekarang aku udah jadi GREYSONATOR.

Beberapa Minggu Kemudian
Hari ini hari Kamis, tanggal merah yang artinya sekolah libur. Hampir seminggu sekali aku menulis pengalamanku tentang Greyson di jejaring sosial blog. Setiap orang di negara manapun bisa melihat catatan yang aku tulis di blog, karena aku ingin berbagi pengalaman dengan every people. Hari ini, aku menulis catatan di blog. Setelah aku lihat pemberitahuan, ada seseorang yang membaca blog aku. Dia mengomentari “Waw, it’s a amazing. I agree with you”. Aku sengaja setiap mencatat di blog menggunakan dua bahasa, yaitu Bhs. Indonesia dan Inggris. Jadi memudahkan siapapun untuk membacanya. Aku berfikir, pasti itu orang luar yang baca blog aku. Eh, ternyata benar. Tapi, dikomentar dia, tidak tercantum nama pengirim. Jadi aku balas “Thanks, someone. BTW what’s your name?”. 3 menit kemudian dia juga membalas “You’re welcome Syla. My name? Mm, Greyson Chance”. Hah, gimana ya? tuh orang ngaku-ngaku aja. Ga berpendidikan, mana mungkin Greyson baca blog aku. “Hey you, really? But, I can’t beleive.” balasku. Tapi, kalo memang benar?? Aneh, pasti ini Cuma rekayasa dia aja. Hm, dia balas “I really, I’m Greyson Michael Chance !! You need evidence?? I can Syla, wait me”. Jiaa, dia pengin aku percaya sama omongannya. Dia berani sekali untuk membuktikan yang sebenarnya. “Ok someone, I’m waiting” jawabku lagi.

Tak lama kemudian, ternyata dia ngirim semacam video ke aku. Dan itu ......., memang Greyson Chance yang lagi mengatakan sesuatu ke aku. Aku merasa bersalah sama dia. Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Lalu dia menyambung percakapan “You can beleive?”. Aku menjawab “I can, I’m sorry Grey. I feel guilty”. Kayaknya Greyson marah sama aku deh, huhuhu. Dia Cuma balas “Ok, no problem. Bye”. Dia memutus pembicaraan begitu saja. Okelah tidak apa-apa. Ini pengalaman yang tak terlupakan bagi aku. Walau terlihat sekilas.
-- THE END --
TRUE LOVE
Karya Dina Pertiwi
Cinta sejati. Apakah kalian percaya akan itu? Akan "Cinta Sejati" yang konon katanya dimiliki oleh semua orang? Cinta yang katanya sangat indah dan menyenangkan? Mitos cinta sejati yang terus menerus melolong dihatiku.
***

Kupandangi bingkai biru di tepi tempat tidurku. Aku tersenyum menatap benda yang ada didalam bingkai itu.Bukan sebuah foto ataupun lukisan. Hanya sebuah kertas lusuh. Kertas catatan PKN yang aku robek dari buku miliknya 2 tahun lalu saat perpisahan SMP. Dia sama sekali tidak tahu aku merobek buku catatanya. Bahkan, mungkin dia tidak mengenalku. Aku hanya satu dari ratusan penggemarnya di sekolah.
Dia bukan artis. Dia adalah siswa tampan dan cerdas di sekolahku. Dia kaya dan pintar dalam bidang olahraga. Sifatnya yang cuek justru menjadi daya tarik bagi para kaum hawa, termasuk aku. Tapi, bisa dibilang, aku tidak terlalu menunjukkan diri bahwa aku menyukainya. Terbukti. Aku tidak pernah menyapa ataupun menegurnya. Aku menyukainya lewat diam.Bahkan, robekan catatan PKN itu aku ambil diam- diam untuk kenang- kenanganku karena aku tahu dia akan melanjutkan study ke L.A.Aku kembali tersenyum manis saat melihat robekan catatan itu. Orang bilang, apapun itu, jika memang jodoh, maka dia akan kembali lagi dan lagi. Dan aku percaya dia akan kembali kulihat.Aku mengeluarkan kertas itu dari bingkainya. Kupeluk- peluk dan kubelai. Ku ajak tertawa dan tersenyum.Gila. Konyol memang. Setelah puas dengan kegiatanku itu, aku meletakkan kertas itu di atas meja belajarku. Dan...
Syuuuut...
Angin bertiup menerbangkan kertas kenangan itu keluar jendela dan jatuh dipekarangan. Dengan sigap aku keluar rumah dan mengejar kertas itu. Itu adalah satu- satunya milikku yang mampu membuatku mengingatnya.

Saat aku hampir mendapatkanya, angin kembali meniupnya menjauhiku. Argh! Angin ini! Batinku kesal.

Aku kembali mengejar kertas itu. Dan saat aku hampir mendapatkannya kembali...
"Argh!! Sial banget sih?! Malah keinjek lagi!" seruku kesal saat tahu kertas itu di injak seseorang. Orang itu mengambil kertas yang ada di injakannya itu. Aku masih menatap jalanan berdebu dengan kesal.
"Jadi, daritadi kamu ngejar kertas ini ya?" ucap orang itu. Suara bariton yang ku kenal. Ku tengadahkan kepalaku menatap wajah dari si pemilik suara.

DEG!!!
Di... Diakan? Diakan pemilik kertas itu sebenarnya? Vigo. Cowok tampan, keren dan pintar itu... Bagaimana bisa?
"Ma... af. Aku ngerobek kertas itu...."
"gapapa kok Dina. Beneran deh gapapa. Karena, aku juga udah foto kamu diam- diam waktu itu." akunya padaku. Dia... Tau namaku?
"foto?! Diem- diem?"
"Lebih baik, kita nostalgianya ditaman aja deh." ucapnya sambil menarik tanganku ke taman.
***

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Fotoku ada dalam dompet Vigo?
"Aku dulu suka banget sama kamu Dina. Karena, kamu itu satu- satunya cewek yang gak pernah negur aku. Kamu cuek dan aku suka itu." ucapnya sambil tersenyum.
"Dulu, aku berharap bisa kenal dan pacaran sama kamu. Tapi, dekat kamu aja aku udah gemetaran, apalagi ngobrol sama kamu..." ucap Vigo lagi. Lalu dia menatap robekan kertas itu.
"Aku tau kok, kamu ngerobek kertas ini. Cuma aku pura- pura gatau aja. Aku seneng banget waktu kamu robek kertas ini. Karena itu artinya, kamu juga suka sama aku. Iyakan?" ucapnya yang membuatku tersipu malu.
"Ikh... Kok diem aja?" ujarnya sambil mencubit pipiku pelan.
"aku bingung mau ngomong apa..."
"Kamu percaya mitos True Love gak?"
"True Love? Emang ada?" tanyaku.
"mulanya, aku juga gak percaya. Tapi malem ini aku percaya. True Love aku udah aku temuin lagi. Aku suka kamu." ucapnya sambil natap bintang.
"udah jam 12 belom?" tanyanya.
"udah. Udah jam 12 tepat."
"Happy Birthday Dina :). Will you be My True Love?"

Apakah dia menyatakan perasaannya. Tanpa sadar, aku mengucapkan
"yes. I will."
***

Percaya atau tidak, itulah faktanya. True love akan datang. Sejauh dan sesulit apapun, Cinta Sejati akan mencari jalan lagi dan lagi untuk kita temukan. :)

DIBALIK AWAN
Karya Nur Faida
Di balik awan
Ku menunggu itu datang.
Ku tatap langit berharap itu terjadi.
Berharap dan terus berharap
Mimpi kecil yang masih berada di balik awan.
Agar awan itu pindah dan mimpiku bisa jadi kenyataan
Terlalu konyol ku katakan tetapi itulah kenyataanya. Ku bernama Nur Faida, bisa di panggil faida. Aku ingin sekali mimpi kecilku itu terwujud sebari ku menunggu sejak kecil sampai kelas 3 SMP sekarang. Entah kenapa, aku ingin sekali itu terwujud dan sekarang mimpi kecilku itu menjadi kenyataan.

Hari jumat sepulang sekolah, ku pandang langit yang bersahabat denganku. Ku berlari secepat mungkin karena ku tak mau temanku ninda memelukku dan aku tak mau menjadi kue bercampur kopi. Begitulah masa remaja menurutku, setiap ada teman kita yang ulang tahun pasti ujung – ujungnya orang yang berulang tahun itu akan ditaburi maupun di lempari dengan terigu , air dan telur maka menjadilah kue dan di berikan juga kopi.Ku beruntung sekali, aku tidak terkena semua itu dan kami sekelas perempuan semuanya pergi kerumah ninda.
Saat ku lihat Ninda , ada rasa iri diriku. Sejak kecil ulang tahunku tidak pernah dirayakan oleh teman – temanku semua, ku memang pernah dirayakan ulang tahunku tapi aku hanya 1 kali itupun ku sama keluarga ajah. Ku ingin sekali ulang tahunku dirayakan oleh teman – teman semua, aku selalu menunggu sampai sekarang ini. Ku fahami itu bahwa tanggal lahirku 3 Agustus 1998 jadi ulang tahunku sulit untuk dirayakan karena pada bulan kelahiranku itu adalah bulan ramadhan tetapi ku ingin sekali itu di rayakan walau ditunda waktunya.

Dirumah Ninda, kami semua menunggu 2 teman kami yang akan membawa kue ulang tahun untuk Ninda. Banyak hal yang temanku lakukan semuanya saat menunggu 2 teman kami dan juga ninda yang sedang mandi ini. Ada yang saling berbincang - bincang , main – main bersama dan perbaiki kudung.

Tak lama kemudian, Atul dan Dilah datang membawakan kue ulang tahun berbentuk segi empat untuk Ninda . Teman – temanku pun menancapkan lilin. Betapa senangnya Ninda pastinya akan hal ini.
“Happy birthday Ninda!”sorak semua temanku saat Ninda turun dari tangganya.
Nindapun gabung pada kita semua dan kami semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan Nindapun meniup lilinnya lalu memotong kue ulang tahun yang di beli dari kumpulan uang semua teman di kelas kemudian kamipun semunya memakan kue ulang tahun itu yang ternyata masih ada sisa sepotong kue Ulang tahun Ninda yang kira – kira besarnya 40 derajat.

Tak ku sangka Wawa,Inna dan Icha seseorang yang sudah ku anggap sahabat itu menancapkan lilin lebih dari 8 dengan api yang sudah berada di pucuknya dan menghampiriku.
“faida! Selamat ulang tahun yah. Kan Ulang Tahunmu belum dirayakan waktu itu”kata Wawa yang berada di depanku dengan membawa kue Ulang tahun.

Mereka menyanyikan Lagu Selamat Ulang tahun dan akupun meniupnya. Ya Allah, aku sangat gembira sekali sekaligus terharu. Aku ingin sekali menangis karena saking senangnya tapi ku tahan mataku agar tidak menangis. setelah itu iseng – isengnya wawa mencolek kue itu dan memberikan mukaku bedak kue.Astaga, reflex saja aku membalasnya dan juga Inna melakukan hal seperti itu. Akan hal itu, kudungku jadi kotor dan mereka berdua juga

Alhamdulillah, akhirnya mimpi kecilku sudah terwujud dan selang beberapa hari setelah itu mereka berdua memberikanku kado ulang tahun untukku sebuah pulpen berwarna hijau. Aku sangat senang karena sekiang lama ku menunggu akhirnya terwujud juga. Terimah kasih ya Allah engkau sudah mewujudkan mimpi kecilku itu. Mimpi yang dulunya berada di balik awan sekarang sudah menjadi kenyataan. Itulah mimpi kecilku, ingin dirayakan ulang tahunku dan di beri kado.

AKU?? GADIS PALING BERUNTUNG!
Karya Aisha
Aku, Kasya Adelia. Nama yang tidak umum? Memang! Biarlah, itu kreasi orangtuaku. Terlahir dengan wajah innocent, manis, cantik, dan polos. Plus badan mungil dan ramping yang sukses membuat teman-temanku sirik. Aku termasuk jajaran murid pintar di kelas lho. Hanya saja, aku memiliki sifat pelupa, PD dahsyat, dan bengal. Love life? Zero. Zero! Aku hanya berharap, ada seorang prince –yang tidak harus charming– datang kepadaku dengan ketulusan yang tidak dibuat-buat!

Lagi-lagi aku kena marah guru. Padahal, aku hanya tidak mengerjakan PR. Yah, memang sih sudah yang kedua kali. Eh, mungkin yang ketiga kali. Pokonya tidak mengerjakan PR deh. Guru itu –Pak Dudung– memarahiku tanpa ampun. Di depan kelas lagi! Damn. Mau ditaruh dimana muka manisku ini? Semua teman-temanku hanya bisa tersenyum, berusaha menahan tawa. Tanpa ada yang berusaha memberikan pembelaan untukku. Huh, teman macam apa mereka? Aku hanya bisa memasang tampang innocent plus polos plus memelas ketika mendengar omelan Pak Dudung yang sepeti kereta berlokomotif tidak terhingga. Aku merutuki sifat pelupaku. Mayday mayday..
Entah mungkin Pak Dudung sedang happy, entah tersihir wajah innocentku. Tapi yang pasti, beliau tidak jadi menghubungi orangtuaku. Aku bersorak dalam hati. Beliau hanya menyuruhku berdiri diluar kelas. Yeah! Tandanya, aku bisa kabur ke perpustakaan. Sifat bengalku memang susah dilawan. Aku mana tahan harus berdiri panas-panasan di luar kelas? Segera aku melangkahkan kaki ke perpustakaan. Tempat paling nyaman di seantero sekolah. Tempat aku bisa merefresh pikiranku saat ada masalah yang menumpuk. Setiap jalinan kisah yang terdapat dalam sebuah buku, selalu sukses membuatku lupa diri dan terhanyut bersama tokoh utama tersebut.

Terpaan angin AC yang dingin segera menyambutku. Ah, sudah lama aku tidak kesini. Kegiatanku di Osis lumayan menyita sedikit waktuku. Yah, walaupun lama dalam kamusku adalah 2 hari. Ibu Rini –penjaga perpustakaan– menyapaku dengan ramah. Tanpa menanyakan alasanku yang berada di perpus saat jam pelajaran. Fiuh, big applause for her! Aku segera membalas sapaannya dengan ramah, dan berlari menuju kubikel favoritku setelah sebelumnya menyambar asal sebuah buku dari rak. Kubikel favoritku ini, terletak di paling ujung dan paling pojok. Mungkin itu sebabnya tidak ada murid lain yang menggunakan kubikel ini selain aku. Seram katanya. Padahal, menurutku kubikel ini paling oke! Disini, aku bisa leluasa membaca buku tanpa ada gangguan dari orang yang hilir mudik. Tenang pokoknya.

Oh ya, kubikelku ini juga paling banyak coretannya. Maklum, aku tidak tahan untuk tidak mencoret-coret barang. Bahkan mejaku juga penuh dengan coretan. Dan untuk hal yang satu ini, belum pernah ada guru yang memarahiku. Sebenarnya sih karena belum ketahuan, hehe. Kembali ke coretan, aku amat-sangat-sering menulis isi kepalaku di kubikel ini. Rasanya ada yang kurang gitu kalau belum menulis. Dan dimulailah tulisanku untuk hari ini.

Plis deh Pak! Jangan salahin saya dong. Emang saya bisa milih jadi pelupa apa? Bawaan lahir tao paak. Bete bete. Kayanya hari ini bakalan kelabu. Huhu.. T-T ada yang nyemangatin dong someone.. ck..
Aku tertawa sendiri melihat tulisanku itu! Sedikitpun tidak mirip dengan tulisan asliku. Sepertinya kemampuanku mengubah bentuk tulisan semakin meningkat! Aku pandangi tulisan-tulisanku yang lain. Hiyaa.. Kok sebagian galau gitu sih? Huahaha.. Aku terbahak-bahak dalam hati. Sekali lagi, aku melayangkan pandanganku. Tunggu. Ada yang aneh. Tulisan lain. Tercetak jelas di samping setiap tulisanku. Mengomentari setiap tulisanku! Menyemangati setiap tulisanku! Aku baca perlahan-lahan tulisan si misterius itu.

Semangat Sya! Kamu pasti bisa melewati hari ini dengan senyuman J
Selalu lihat sisi positifnya Sya! Kasya pasti bisa!
Hey, Kasya Adelia itu terlahir kuat! Dia gak akan putus asa, kan?
Sayang kalau wajah innocentmu tertutup ekspresi amarah. Tertawa dan tersenyum dong :D
Aku peduli, dan akan selalu mendungmu.. :)

Aku terheran-heran sendiri. Begitu banyak tulisan dari orang yang aku sendiri tidak tahu siapa. Lagipula, bagaimana dia tahu namaku? Jangan-jangan.. Aku dimata-matai! Terburu-buru aku berdiri dan mengedarkan pandanganku ke sepenjuru perpustakaan. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Yah, walaupun saat membacanya aku merasa ada yang melumer di dalam hatiku. Karena, dia adalah orang pertama -yang sepertinya- peduli padaku. Aku menghela nafas panjang. Segera aku menulis lagi.

Haloo.. Ini siapa yaa? Kok tau aku? Hayo ngakuuu… Jangan bikin orang penasaran dong, dosa tau. Eh, tapi big thanks for you ya.
Besok, aku harus segera kembali ke perpustakaan! Aku paling tidak tahan dengan yang namanya penasaran! Awas saja kalau dia sampai tidak membalas. Akan aku cari sampai ke penjuru sekolah sekalipun.
“Sya, lima menit lagi bel tuh,” suara ibu perpustakaan mengingatkanku.
Oh! Aku harus segera kembali ke depan pintu kelas. Kalau tidak, hiiy.. Kupingku akan semakin panas mendengar omelan Pak Dudung. Aku segera berlari keluar perpustakaan. Tidak lupa mengucapkan terimakasih –dengan berlari juga– kepada ibu perpustakaan. Dan beliau hanya bisa geleng-geleng kepala melihat salah satu murid langganannya.

Pak Dudung memang galak, Sya. Hehe.. Sabar yaa. Oh ya. Anggap saja aku Guardian Angelmu. Yang akan selalu mendukung, dan ada untukmu.Oke?
Keesokan harinya, aku kembali ke perpustakaan. Dan benar saja, orang itu membalas! Aku melotot membaca tulisannya. Guardian Angel?! Apaan tuh! Seenaknya bikin aku penasaran. Tapi lagi-lagi, aku merasa ada yang lumer di hatiku. Duh, masa aku menyukai seseorang yang bahkan aku saja tidak tahu? Dengan gemas aku menulis lagi.Angel? Ga nyata doong, hii… Ngaku dong, plis banget. Jangan main-main gini dong. Pengen ngeliat aku marah kali ya?

Oke, aku ini memang orang yang susah buat jatuh suka (well, dalam hal ini aku menghindari kata ‘cinta’). Buktinya, selama 16 tahun hidup aku belum pernah tuh naksir cowok. Yah, kecuali penyanyi favoritku –Nick Jonas. Suaranya… Wajahnya… Oke, back to the topic. Kenapa ya? Tiap kali aku baca tulisan-tulisannya, aku merasa ada yang melumer di hatiku. Aku jadi hangat luar dalam. Duh, what’s wrong with my heart? Tiap baca tulisannya, aku bisa merasakan kepedulian dan ketulusannya.

Enak aja, aku nyata kok. Manusia, real! Dan aku BENER-BENER ga ada niat MAIN-MAIN. Aku serius, Sya.Kamu boleh marah kok. Just wait and see.. Keep spirit yaa.

Lama-kelamaan, kegiatan yang kusebut “Coret-Coret-Bikin-Kubikel-Kotor” yang kusingkat “CCBKK” berlangsung rutin setiap hari. Dan anehnya, aku gak pernah sekalipun ketemuan sama orang itu. Ibu perpus gak pernah mau ngasih tau siapa orang selain aku yang make kubikel itu. Dan lagi, kalau ada orang lain yang iseng ngebaca tulisan itu, pasti bingung sendiri. Lha wong isinya macem-macem. Ada kata semangat, debat kusir, galau dan teman-temannya, sampai tentang pelajaran! Bisa dibayangin dong gimana kotornya itu kubikel? Dan tanpa aku sadari, CCBKK udah berlangsung selama lebih dari 3 minggu.

Seperti biasa, aku sedang berjalan menuju perpustakaan. Tapi, rute kelas-perpustakaan yang kutempuh sedang tidak biasa. Aku harus memutar jalan melewati ruang guru. Pak Dudung tidak sengaja membawa buku paketku yang dipinjam olehnya. Dasar guru, bukannya mengembalikan langsung. Huh.

Saat aku sampai di depan pintu ruang guru, aku bersiap membukanya. Tapi tiba-tiba, pintu itu terbuka sendiri! Kaget? Pastinya! Jangan-jangan… Hantuuu! Husssh. Segera kutepis pikiran konyolku itu. Ternyata, ada seseorang yang membukanya. Aku hanya melihat wajahnya sekilas, selain dia yang langsung memalingkan wajahnya, dia juga membawa setumpuk buku perpustakaan dan beberapa lembar kertas yang hampir menutupi wajahnya. Wajahnya terlihat kaget. Mungkin akan kecantikanku ini, hehehe. Tapi yang jelas, selembar kertas terbang dari genggamannya saat dia berjalan menjauh. Dan kertas itu jatuh tepat didepan kakiku. Penasaran, aku memungutnya. Ternyata kertas ulangan. Dan, wow! Nilai yang sempurna. Amri Affandi, pasti orang yang pintar. Saat aku melihat tulisan jawabannya, aku terperangah. Jantungku langsung berdebar tak keruan. Hatiku terasa panas. Tulisan ini.. aku bukan sekadar mengetahuinya. Aku mengenalnya!

Aku langsung berlari mengejarnya. Sia-sia aku berteriak namanya. Sayang, di kertas tersebut tidak dicantumkan kelasnya. Dia tidak ada. Heran, lari kemana sih? Cepat sekali. Aku memutuskan untuk menyimpan kertas ulangan tersebut dan pergi ke perpustakaan. Aku harus merefresh pikiranku!
Untuk kesekian kalinya, terpaan dingin AC kembali menyambutku. Ibu perpus entah mengapa tersenyum penuh arti kepadaku. Aku membalas senyumannya dengan kikuk. Kali ini, aku memilih buku dengan seksama. Memilah buku mana yang akan membawaku terhanyut dengan cepat dalam buku itu.
‘City of Bones’ tampaknya pilihan yang cocok. Aku segera melangkahkan kakiku menuju kubikel favoritku. Otakku benar-benar butuh penyegaran! Aku bahkan berniat bolos jam pelajaran. Ini semua gara-gara tulisan Amri Affandi! Tenang Kasya.. Keep calm..

Yah, ternyata ‘keep calm’ku tidak berjalan sukses. Aku terkesiap ketika ada seseorang yang sudah duduk manis di kubikelku. Dalam otakku, sudah terpampang berbagai “naskah” untuk mengusir orang tersebut. Namun, aku lebih terkesiap lagi ketika melihat wajahnya. Wajah itu.. Walaupun hanya sekilas melihatnya, aku langsung mengenalinya! Ya, tidak salah lagi. Dia adalah orang yang kutabrak tadi di depan Ruang Guru! Otakku seakan ditembak sinar pembeku. ‘Brain Freezing Time’-ku kambuh lagi. Lidahku kelu. Dia hanya tersenyum. Senyuman yang entah mengapa membuat diriku menghangat.
“Amri Affandi?”Tanyaku dengan takut. Aku menunduk, takut salah orang!
“Kasya Adelia, kan?” Balasnya disertai senyuman mautnya. Uh, aku meleleh di tempat. Aku kaget. Jantungku berdetak tidak karuan. Inikah orangnya? Orang yang berhasil membuat hatiku berdebar-debar? Aku hanya mengharapkan seorang ‘Prince’. Tapi, mengapa? Mengapa yang datang ‘Prince Charming’? Wajahnya begitu tampan. Dengan mata yang jernih dan alis yang teduh. Dihiasi kacamata tanpa frame yang sukses membuatnya semakin charming. Rambutnya hitam pekat dan lurus. Dan hal lainnya, sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Aku mengorek ingatanku. Ya, dia adalah peraih peringkat 1 paralel. Dan aku
harus puas berada di peringkat 2 atau 3. Sering disebut, ngg... Ice Prince!
“Ng.. Ak.. Kamu.. Amir –eh! Amri Affandi? Ng.. Yang suka nulis di.. sini?” Tanyaku dengan takut. Aku hanya tidak ingin harapanku kelewat tinggi. Aku takut.
“Fandi aja. Dan aku sudah memutuskan bahwa sekarang saatnya aku jujur sama Kamu. Kamu boleh nganggep aku pengecut atau apa. Aku terima. Jujur, karena aku sendiri juga gak berani untuk ngungkapin secara langsung. Dan sekarang, aku udah mengumpulkan keberanian itu,” jelasnya panjang lebar. Tapi, wait! Keberanian apa? Duh, makin geer nih!
“Kasya Adelia, Aku suka Kamu. Kamu mau berada di sisiku sekarang dan seterusnya?”,Terang Fandi dengan suaranya yang jernih. Matanya begitu penuh keyakinan, ketulusan, dan cinta? Ah, aku tidak yakin ekspresi apa itu. Yang pasti, ekspresi tersebut kontan membuatku panas-dingin, jantungku berlompatan tidak karuan.

Help! Mayday mayday! Aku meerasa linglung. Ini mimpi? Bukan. Pasti bukan, aku harap. Saat matanya memandangku, aku langsung membeku lagi. Dan dalam sekejap melumer kembali saat Fandi menggenggam tanganku. Saat itu juga aku kembali menjadi diriku. Pikiranku melayang ke tulisan-tulisan di kubikel. Dia tulus. Dia baik. Dia peduli. Dan yang terpenting, aku menyukainya. Perlahan, aku mengangguk. Dan setelah anggukan itu, aku merasa menjadi gadis paling beruntung di dunia!
“Ciee.. Ice Prince..” ledekku pada Fandi. Hahaha, ternyata dia tidak menyukai julukan itu. Huu… Siapa suruh jarang senyum? Walaupun jika terhadapku, dia selalu tersenyum sih, hehehe. Aku memperhaikan wajahnya. Gawaat, sepertinya Fandi bete akan ledekanku yang tidak berhenti-berhenti. Hahaha, tapi aku tidak terlalu peduli. Meledeknya adalah hal yang menyenangkan buatku.
“Cieee pasangan jenius..” ledekku lagi. Kali ini, adalah julukan buat kami berdua. Terus terang, aku menyukai julukan itu. Dan lagi-lagi, Fandi tidak menyukainya. Aku baru akan meledek lagi, saat jeweran mengenai kupingku.
“Nona kubikel, aku laporin ke guru ya kalau kamu suka mencoret-coret properti sekolah.” Balas Fandi dengan senyuman mautnya.
Tentu saja aku langsung meleleh dan diam melihat senyumannya. Fandi yang melihatku diam, menyangka aku marah dan langsung mengecup dahiku tanda permintaan maaf.

Sekali lagi, aku merasa menjadi ‘Gadis Paling Beruntung di Dunia’.


CINTA BERSEMI DI PUTIH ABU-ABU
Karya Ajeng Novrianna Putri

Pada suatu hari ada seorang remaja berusia 16 tahun , bernama Azkia ia duduk di bangku kelas 10 SMA, ketika ia sedang diperjalanan menuju ke sekolah ia mendapatkan teman baru bernama Ira, Ira adalah anak kelas10.B, sedangkan , Azkia anak kelas 10.D. Ketika sampai di sekolah ia dan Ira menuju kelas 10.B dulu , yaitu kelasnya Ira. Seiring berjalannya waktu sekarang sudah semester2 , kebetulan exkul Azkia dan Ira sama yaitu PMR dan Ira mengenalkan temannya yang ikut exkul PMR juga kepada Azkia , yaitu Lia , mereka pun ikut lomba PMR di SMAN21, mereka sebagai PK ( Pertolongan Keluarga ) , hasil pengumuman pun sudah tiba ternyata mereka kalah tapi tidak apa – apa karena mereka baru pertama kali ikut lomba PMR oy David juga mengikuti lomba PMR tetapi ia sebagai tandu, David adalah seorang cowok yang Azkia sukai.

Ujian Kenaikan Kelas pun sudah tiba hari ini adalah hari pertama UKK lumayan susah sih tapi harus tetap bisa mengerjakan soal.
Cinta Bersemi di Putih Abu-abu
Hari terakhir UKK pun sudah tiba, pulang sekolah Azkia, Ira, dan Lia jalan – jalan bersama ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah) untuk menghilangkan stress setelah UKK, dan sekaligus perpisahan dengan Ira, tapi tentu saja mereka minta izin orang tua dulu dan juga ganti baju,
Hari ini adalah hari yang ditunggu – tunggu yaitu adalah hari pengambilan raport UKK dan ternyata Azkia naik kelas , lia , Ira dan David juga. Tapi Ira pindah ke Lombok karna ayahnya bekerja di sana.
Besok adalah hari pertama masuk kelas 11, setiba di sekolah Azkia langsung mencari cari namanya di kertas yang di tempel di kelas – kelas , ia mencari di kelas 11.C, 11.D dan 11.E tapi tidak ada namanya ternyata ia mendapatkan kelas 11.F yaitu kelas terakhir ia sangat terkejut padahal di semester 2 ia mendapatkan rangking 10 besar, tapi yasudahlah dan ia pun membaca nama – nama anak kelas 11.F ia terkejut karena ada nama David abidya yaitu cowok yang ia sukai dari kelas 10 sampai kelas 11 , ia pun senang karena bisa satu kelas dengan David, walaupun mereka duduknya berjauhan .

Dan waktu Azkia mengetahui siapa wali kelas nya di kelas 11 ia terkejut ternyata wali kelasnya adalah wali kelas nya yang dulu saat ia masih duduk di bangku kelas 10 yaitu Bapak Roni.
Esoknya ada murit baru yang datang yaitu Remi, Aldo, Eni, Deni, dan Nita, mereka pindahan dari Jakarta.
Dan hari ini ada murit baru lagi, badannya tinggi dan besar namanya Riel, walaupun namanya dari R, tapi karna ia murit baru namanya jadi absen paling bawah.

Hari ini adalah hari yang paling seru, ada temanku yang bernama Ardi yang menembak Bery,” so sweeeeeeeeet ” ucap anak kelas 11.F. O ya, baru saja kemarin ada yang jadian hari ini ada yang jadian lagi, mereka adalah Aldo yang anak baru itu , menembak temanku yang bernama Ibel” uuuuuuh si Aldo nembak si Ibel ga kalah keren sama si Ardi” ucap Indah, “aduuuuuuuuuuh bulan oktober ini kayaknya bulan yang so sweeeeeeeeeeet banget, soalnya banyak banget temen – temen yang baru aja jadian” ucap Yunita “duuuuuuuuuh kapan ya ada yang nembak aku? ’’ pikir Azkia dalam hati.
Hari ini adalah hari Ulang Tahun sahabatnya namanya Indah, Azkia dan teman – teman memang sudah merencanakan akan berpura – pura merasa acuh,cuek dan menghindar kalau Indah menghampiri mereka, seolah Indah menjadi musuh di kelas.

Sewaktu pulang sekolah, Indah disiram air yang sudah dimasukan daun dan kertas, Indah pun terkejut dan menangis.

Sementara itu ada cowok yang bernama Gusti, menghampiri Indah dan menyatakan cinta padanya,” iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii *_* lucu banget nyampein kata – katanya, hahaha ^_^”, semua orang yang ada di kelas semuanya tertawa, tapi Gusti terlambat, karena Indah dan Febri sudah lama jadian, “uuuuuuuuuuuuuuuuh >_< kasian, kayaknya ada yang lagi patah hati nih”. Ucap semua anak di kelas.
“Apa sih sebenarnya CINTA itu?” ucap Azkia, dia menulis di GOOGLE, di WIKIPEDIA, di YAHOO, tapi tetap saja belum mengerti.

Akhirnya Azkia bertanya pada sahabatnya Indah, dan apa jawaban Indah, indah menjawab“ Cewek yang kesepian, kasian >_< ” mendengar jawaban Indah, Azkia justru lebih tidak mengerti, karena Azkia merupakan seorang remaja kutu buku, penampilannya cupu, dia memakai kaca mata yang bulat, tebal, dan besar, rambutnya panjang dan selalu dikepang dua, begitu pula dengan pakainnya, sangat cupu >_<. Akhirnya sahabatnya yang bernama Indah dan Yunita, memutuskan untuk make over Azkia, agar terlihat lebih cantik, mereka membawa Azkia ke salon untuk dirapihkan rambutnya, lalu Azkia di bawa ke mall untuk membeli baju yang tidak cupu, setelah itu Azkia di bawa ke optic untuk membeli kaca mata yang berbentuk persegi panjang agar terlihat tidak cupu, kalau untuk dandan - mendandan Indah jagonya.

Besoknya, ketika Azkia sampai di sekolah bersama kedua sahabatnya yaitu Indah dan Yunita, semua orang terkagum – kagum melihatnya, seperti tidak percaya kalau itu,”( Azkia si anak kutu buku)”, begitu julukannya di sekolah.

Ketika guru masuk kelas, guru pun bertanya pada Azkia, “ apa kamu murit baru?”, Azkia menjawab “ bukan bu, ini saya Azkia, memangnya ibu tidak mengenali saya?”,
Bel istirahat pun tiba, ketika guru sudah keluar kelas, perbincangan para remaja pun tak kan terlewatkan. Mereka semua menghampiri Azkia, dan bertanya, “apakah benar ini kau, Azkia, (si anak kutu buku?) semua pertanyaan dari teman – teman sama semua, Azkia jadi bingung menjawabnya.

Pulang sekolah, David cowok yang Azkia sukai menghampirinya, ia bertanya langsung pada Azkia, “ apa benar ini kau Azkia, anak si kutu buku itu?” ucap David. “Tentu saja ini aku, Azkia yang suka kalian panggil dengan sebutan (Azkia si anak kutu buku).
“ Tapi aku tidak percaya ini kau, aku tidak lagi melihat wajah lugu mu yang lucu itu, o ya kenapa kau jadi berubah seperti ini?, aku lebih suka kau yang dulu dengan rambut yang dikepang dua dan kaca mata bulat mu yang lucu itu”. Ucap David.
“ Kenapa kau lebih suka aku yang dulu, dari pada aku yang sekarang?, tapi teman – teman lebih suka aku yang sekarang dari pada aku yang dulu?” Tanya Azkia.
“ karena mereka melihatmu hanya dari segi luar kalau aku melihatmu dari segi dalam, aku tidak melihatmu dari penampilannmu, tapi aku melihatmu dari kelakuanmu, dari sifatmu, dan dari hatimu karena itulah aku lebih suka dirimu yang dulu dari pada dirimu yang sekarang, dirimu yang dulu lebih natural”. Ucap David.
“ kenapa kau bicara seperti itu padaku?” Tanya Azkia.
“ mau tau ya?, rahasia!!!” Ucap David, setelah itu David pun lari meninggalkan Azkia.

Malam, Azkia pergi ke optic untuk membeli kaca mata bulat tapi tidak terlalu besar, dan ke mall untuk membeli rok panjang, karna rok panjangnya sudah dipotong.
Besoknya, ketika Azkia masuk kelas anak – anak melihatnya dengan dandanan naturalnya yaitu dandanan (Azkia si anak kutu buku) dengan kaca mata bulat walau agak berbeda/tidak terlalu besar, dan rambut dengan kepang dua, seperti biasanya.

Beberapa jam kemudian Indah dan Yunita terkejut ketika melihat sahabatnya mengubah penampilannya lagi, mereka pun bertanya “ kenapa kau mengubah penampilannmu lagi?”, “ aku sadar bahwa kita harus yakin dengan diri kita sendiri, tidak perlu malu dengan dandanan kita sehari – hari” ucap Azkia. “ apa maksudmu” Tanya Indah, “ jawabannya mudah, (BERSYUKUR)” ucap Azkia.

Pulang sekolah ketika Azkia sedang berjalan dengan sahabatnya yaitu Indah dan Yunita, tiba – tiba David menghampiri mereka, “ nah seperti ini dandanan yang kusukai” ucap David. “ cyeeeeeeee ^_^, kayaknya ada yang lagi mau nembak ni yeee” Indah dan Yunita meledek.
“ o, y Vid kamu belum jawab pertanyaanku, apa maksudmu berkata seperti itu” Tanya Azkia.

David pun menjawab “ hmmm, mau kah kamu jadi pacarku?, aku sudah lama suka sama kamu, dan aku lebih suka dandananmu yang natural seperti ini” “ uuuuuuuuh so sweeeet” Indah dan Yunita meledek. “ mau, kamu yang sudah bikin aku sadar, bahwa kita harus bersyukur dengan dandanan yang sudah bikin kita nyaman” ucap Azkia.

Malamnya, Azkia menulis diary , “sekarang aku sudah tau apa yang dimaksud CINTA, walapun kita baca buku yang banyak, sesering mungkin, kita tidak akan pernah mengerti, kalau kita belum mengalami sendiri, akhirnya, Azkia bahagia dan berkata :
“CINTAKU BERSEMI DI PUTIH ABU – ABU”
 
 

GADIS AKASIA
Karya Kaz Felinus Li
 
Hong Kong, 1999
Jun Liang, adalah seorang remaja kelahiran Daratan Tiongkok yang baru berusia 15 tahun. Dalam usianya yang masih relatif muda itu, dia sudah harus ikut ayahnya, Guan Cheng, merantau ke Hong Kong. Guan Cheng dulunya adalah seorang buruh di negaranya sendiri, sebuah pekerjaan yang sudah ditekuninya bertahun-tahun sejak dia menikah dengan istrinya yang sudah meninggal 13 tahun silam. Dari pernikahan mereka, lahirlah satu-satunya anak mereka, Jun Liang. Kala itu Jun Liang masih berumur 2 tahun ketika istrinya meninggal.

Tekanan ekonomi yang berat di Tiongkok membuat Guan Cheng harus berencana untuk lebih baik lagi dalam menjalani masa depannya. Di tahun 1999, dia pun nekat merantau ke Hong Kong yang masih menjadi kolonial Inggris itu. Di sana, Guan Cheng menemui seorang teman masa kecilnya yang bersedia meminjamkan sejumlah uang kepadanya untuk dipergunakan sebagai modal berjualan buah-buahan segar di pinggir jalan. Mau tidak mau Jun Liang harus melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA di kawasan Tsuen Wan.
 
Gadis Akasia
Sebagai seorang yang berasal dari kampung dan dengan logat Mandarin yang sangat kental, sudah dapat ditebak kalau Jun Liang akan tampil berbeda dengan teman-teman sekolahnya yang baru. Namun perbedaan tersebut tidaklah membuat Jun Liang bangga, sebaliknya dia harus mulai menjalani hari demi hari yang penuh dengan gangguan dari teman-temannya.

Tiga hari berlalu. Suatu pagi, ketika bel tanda istirahat sudah berdentang, Jun Liang mengambil bekal nasi yang dibawanya dari rumah dan berjalan keluar kelas menuju kantin. Ketika melintasi lorong sekolah yang menghubungkan ke kantin, tahu-tahu dia tersentak dan ketika dia menyadarinya, dirinya sudah berada di atas udara dan selang beberapa detik di antaranya, dia mendarat dengan dada menghantam lantai, sedangkan kotak nasi yang dibawanya ikut melayang dan tumpah beserta isinya.

Kiranya seorang murid laki-laki, yang bersembunyi di belakang dinding, telah menjulurkan kakinya dan menyengkatnya ketika Jun Liang melewati lorong itu. Seketika suara tertawa pun terdengar bergema di lorong itu. Jun Liang berusaha bangun dari posisi jatuhnya dan sambil mengelus dadanya yang kesakitan, dia berdiri.
“Mau makan pagi ya, anak kampung…” ledek anak yang menyengkatnya itu. Saat itu, temannya yang lain, mengambil nasi yang berserakan di lantai itu dengan sapu dan memberikannya kepada Jun Liang, disambut oleh tertawa riuh dari teman-teman lainnya. Melihat hal itu, Jun Liang tentu saja menolak untuk mengambil nasi yang disodorkan itu.
“Wah, berani-beraninya si anak kampung ini menolak nasinya sendiri?” ejek si anak itu lagi.
“Maaf, teman, ” kata Jun Liang. “Lebih baik aku tidak makan daripada harus makan nasi ini.”
“Anak kampung ini banyak lagak juga rupanya…” celetuk salah satu dari mereka.
“Hey, anak kampung. Dengar ya.” kata anak yang menyengkat jatuh Jun Liang itu. “Kau anak baru disini. Jangan banyak lagak! Di sekolah ini tidak ada yang berani melawan kami! Apapun yang kami perintahkan, harus kau lakukan!”
“Maaf ya, teman,” sahut Jun Liang. “Aku tidak bisa.”

Anak-anak tersebut saling memberi tanda satu sama lain. Tiba-tiba, anak yang terdekat dengan Jun Liang menjulurkan lengannya dan mencekal kerah bajunya.
“Anak kampung saja banyak lagak!” katanya sambil mengayunkan lengannya memukul Jun Liang. Perkelahian tak seimbang pun terjadi. Jun Liang menjadi bulan-bulanan keroyokan kelompok anak bandel tersebut.

Air pancuran segar yang mengalir di taman sekolah menjadi cairan pembasuh yang sejuk di wajah Jun Liang yang sudah bengkak dihajar teman-teman barunya tu. Aliran darah kering masih tersisa di bibirnya saat itu. Pakaian seragamnya kotor dan berantakan.

Sambil mengeluh kesakitan, Jun Liang mencuci wajah dan tangannya. Lalu mengeringkannya dengan saputangan yang diambilnya dari kantong celananya.

Jun Liang bersiap untuk pergi ketika di depannya melintas seorang gadis yang masih satu sekolah dengannya. Gadis itu sedang bernyanyi riang ketika mereka berpapasan.
“Hai…” sapa gadis itu ketika melihat Jun Liang. Jun Liang hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya dan dia meneruskan berjalan.
“Tunggu!” kata gadis itu tiba-tiba dan menghentikan langkahnya. Sesaat dia terpaku memperhatikan wajah Jun Liang yang babak belur itu.
“Kalau aku tidak salah ingat, kau anak baru dari Daratan itu bukan?” tanyanya.

Jun Liang mengangguk.
“Kenapa wajahmu bengkak begitu? Apa ada yang terjadi padamu?” sambung gadis itu lagi.
“Aku tidak apa-apa. Tadi hanya terjatuh saja.” Jawab Jun Liang dan dia kembali melangkah.
“Maaf,” kata gadis itu sambil memegang lengan Jun Liang.
“Ouhh… sakit…” jerit Jun Liang saat lengannya dipegang si gadis.
“Oh, maaf,” gadis itu melepaskan pegangannya. “Kamu sepertinya terluka ya?

Siapa yang melakukan ini semua? Apa itu perbuatan mereka?”

Jun Liang hanya menunduk, tak dapat berkata-kata. Lalu gadis itu memulai dulu untuk memperkenalkan dirinya.
“Aku Xiang Hua.” Ujarnya.
“Jun Liang…”
“Aku sudah tahu.” Kata Xiang Hua sambil tersenyum. “Kita ke klinik dulu ya. Biar lukamu bisa diobati.”

Mereka berjalan menyebrangi taman menuju klinik sekolah. Sepanjang jalan, Xiang Hua menjelaskan tentang keadaan di sekolahnya itu.
“Jangan pedulikan mereka,” katanya kepada Jun Liang yang berjalan di sebelahnya. “Mulai besok, kamu ikut aku saja ya kalau mau kemana-mana di sekolah ini. Aku akan memandumu dan siapa tahu kita bisa berteman atau mungkin juga bersahabat.”
“Terima kasih, Xiang Hua.” Kata Jun Liang. “Kau adalah temanku yang pertama disini. Aku ingin kita selamanya berteman.”

Jun Liang berhenti dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih sudah mau menolongku.”

Xiang Hua menerima salaman tangan Jun Liang dan tersenyum. Sebuah senyuman indah untuk gadis sebaik Xiang Hua. Menurut Jun Liang, Xiang Hua itu gadis yang cantik. Semakin cantik bila senyumnya merekah. Dengan rambut hitam halus sebatas pundak, suara yang merdu dan badan yang proporsional.

Itulah awal perjumpaan Jun Liang dengan Xiang Hua. Setiap kali Jun Liang menghadapi masalah dengan anak-anak bandel di sekolahnya, Xiang Hua selalu membantunya. Dan Jun Liang juga cukup pintar untuk membantu Xiang Hua menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya selama ini.
***

Tak terasa dua bulan berlalu sudah sejak pertemuan Jun Liang dengan Xiang Hua. Kini Jun Liang sudah tidak lagi diganggu oleh anak-anak bandel di sekolahnya itu, karena pada suatu ketika dia dengan gagah berani berkelahi membela dirinya dan walaupun mereka semua dihukum oleh guru, namun sekarang mereka semua telah berteman baik. Jun Liang pun sudah berteman dengan semua yang bersekolah disana.

Suatu pagi saat istirahat, Jun Liang dan Xiang Hua berjalan menuju taman sekolahnya yang ramai dikunjungi oleh para siswa selama istirahat.
“Xiang Hua, ikut aku yuk…” kata Jun Liang sambil menarik lengan Xiang Hua.
“Kita mau kemana?” Tanya Xiang Hua.
“Ke suatu tempat…” jawab Jun Liang.

Ternyata Jun Liang mengajak Xiang Hua ke bawah sebuah pohon yang tumbuh di pojokan taman. Xiang Hua menatapnya dengan bingung.
“Ini kan hanya sebuah pohon, untuk apa kita kesini?”
“Xiang Hua, coba lihat.” kata Jun Liang sambil menunjuk ke bunga kuning yang tumbuh dari pohon tersebut. “Apakah kamu tahu nama bunga ini?” Xiang Hua menggeleng.
“Bunga ini namanya bunga Akasia.” Kata Jun Liang sambil memetik sebatang bunga tersebut. “Kelihatannya tidak bagus, tapi bunga Akasia ini menyimpan sebuah arti yang indah.”
“Arti yang indah?” Xiang Hua menatap Jun Liang dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Iya, bunga Akasia menyimpan arti tersendiri.” Kata Jun Liang. “Kamu tahu apa arti bunga Akasia ini?” Lagi-lagi Xiang Hua menggeleng.
“Akasia mempunyai arti…” lanjut Jun Liang. “Kecantikan.”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menghadiahkan bunga Akasia yang di tangannya itu kepada Xiang Hua. Disematkannya bunga itu di telinga Xiang Hua.
“Sangat cocok untuk disematkan kepada seorang gadis secantik dirimu.” Kata Jun Liang. Xiang Hua menunduk dan tersipu malu.
“Arti kedua dari bunga Akasia…” kata Jun Liang lagi, sambil memegang dagu Xiang Hua dan menengadahkan wajahnya yang tertunduk itu. “adalah cinta terpendam…”
“Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku selama ini. Pertemuan pertama kita membuatku jadi tertarik padamu. Sejak saat itu aku memendam perasaanku padamu. Baru hari ini aku bisa mengungkapkannya. Dengan bunga Akasia ini, aku ingin mengikat hubungan kita dan aku ingin kita selalu mengingat bahwa bunga Akasia ini menjadi saksi ikatan hubungan kita.”

Xiang Hua tersenyum. “Terima kasih. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?” Tanya Jun Liang.
“Aku ingin kamu menjagaku seperti pohon ini menjaga bunga Akasia ini.”
“Pasti aku akan selalu menjagamu. Selama bunga Akasia masih berkembang, selama itu pula cinta ini akan terus berkembang padamu.” Kata Jun Liang sambil memegang jemari Xiang Hua.
“Tapi…” tiba-tiba Xiang Hua merengut.
“Tapi kenapa?” Jun Liang tampak bingung menghadapi rengutan di wajah Xiang Hua.
“Tapi kenapa dari sekian banyak bunga di taman sekolah ini, kamu justru memilih bunga Akasia ini?” Tanya Xiang Hua. “Bukannya masih ada mawar, anggrek dan juga bunga lily?”
“Kenapa ya?” Jun Liang menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Aku sendiri juga bingung, kenapa ya?”
“Aku menunggu lho….” Ujar Xiang Hua.
“Sebenarnya ini rahasia, alias belum waktunya kamu tahu jawabannya.”
“Tuh kan….” Xiang Hua tambah merengut. “Malas ahhh…”
“Nah, begini saja…” ujar Jun Liang menjentikkan jari. “Kamu mau tahu jawabannya kan?”

Xiang Hua mengangguk.
“Aku akan beritahu jawabannya sekarang…” tiba-tiba Jun Liang berhenti. “hanya jika kamu bisa mengejarku…”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menggelitik pinggang Xiang Hua yang membuat gadis itu terhenyak kaget. Detik berikutnya, Jun Liang pun lari menghindar.
“Awas ya…” seru Xiang Hua tersenyum dan mulai berlari mengejar Jun Liang. “Siapkan jawabanmu karena aku pasti bisa mengejarmu!!”
“Coba saja kalau bisa…” jawab Jun Liang sambil berlari. “Aku sudah terbiasa berlari di kampung halamanku… Kamu takkan mungkin bisa mengejarku.”

Bersamaan dengan larinya dua insan itu, bel tanda masuk kelas pun berbunyi.
***

Hong Kong, medio 2002
Tak terasa, tiga tahun sudah hubungan mereka berjalan. Hari itu adalah hari kelulusan. Ketika acara kelulusan diselenggarakan, Guan Cheng menyempatkan diri datang ke sekolah memenuhi undangan. Begitu juga dengan orang tua Xiang Hua. Disanalah Jun Liang dan Xiang Hua mengenalkan orang tua masing-masing.

Dari sana masing-masing orang tua mengetahui bahwa Jun Liang dan Xiang Hua adalah sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Hanya perbedaan status ekonomi yang membedakan mereka. Tidak seperti keluarga Jun Liang, keluarga Xiang Hua adalah keluarga berada. Ayahnya seorang manajer sebuah perusahaan yang cukup elit di Hong Kong, sedang mamanya adalah seorang ibu rumah tangga yang bahagia dengan anak satu-satunya yang sudah berangkat remaja.

Karena Jun Liang adalah murid yang pintar, tak heran pada saat kelulusan, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Australia. Hal mana yang menjadi sebuah dilema baginya.

Sebenarnya Jun Liang tidak ingin meninggalkan Xiang Hua sendirian di Hong Kong. Dia memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya, namun Xiang Hua bersikeras agar Jun Liang bisa melanjutkan studinya seperti yang didapatnya dari beasiswa tersebut.
“Aku tak ingin meninggalkanmu.” Kata Jun Liang pada Xiang Hua suatu sore ketika dia ke rumahnya. “Lebih baik aku tak kuliah di Sydney, tapi aku bisa bersamamu kuliah disini.”
“Jun Liang,” ujar Xiang Hua. “Aku ingin kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Orang lain yang berharap bisa mendapatkan beasiswa saja masih bermimpi untuk mendapatkannya, mengapa justru kamu yang sudah mendapatkannya malah menolak untuk pergi?”
“Aku tak bisa meninggalkanmu…” jawab Jun Liang. “Kenapa kamu tak ikut aku kuliah bersama disana?”
“Bukan aku tidak mau ikut bersamamu. Tapi kamu kan tahu aku tidak sepandai dirimu.”
“Tapi kan ada aku. Selama ini bukannya aku sudah menolongmu dalam pelajaran? Disana juga nantinya akan sama saja kan?”
“Tidak, Jun Liang. Aku tak ingin selamanya bergantung padamu.” Kata Xiang Hua. “Aku ingin kamu melakukan yang aku inginkan, pergi ke Australia dan lanjutkan kuliahmu disana. Aku bisa menunggumu disini. Tidak mungkin aku meninggalkan mamaku.”

Jun Liang masih terdiam. Hatinya masih galau dan ragu.
“Tapi…” Jun Liang ingin mengucapkan sesuatu ketika bibirnya ditahan oleh jari telunjuk Xiang Hua.
“Aku mohon, bila kau mencintaiku…” kata Xiang Hua. “Lanjutkanlah kuliahmu di Sydney. Dan bila kau percaya pada kekuatan cinta, ketika kau kembali, aku masih tetap milikmu…”

Jun Liang tak kuasa menahan gemuruh hatinya saat itu. Dipeluknya Xiang Hua dalam dekapan yang erat seakan tak ingin melepaskannya.
“Buktikanlah bila kau mencintaiku. Aku ingin kau berhasil disana dan jemputlah aku dengan cintamu.” Sambung Xiang Hua dalam pelukan tersebut. Kedua mata beningnya berkaca-kaca.
“Xiang Hua…” kata Jun Liang lirih dan semakin erat memeluk kekasihnya itu.

Singkat cerita, hubungan Jun Liang dan Xiang Hua pun berlanjut melalui media surat dan internet.

Desember 2002
Kesetiaan Xiang Hua sebagai seorang kekasih yang menunggu kedatangan pasangannya kembali dari kuliah mendapat cobaan dari Tuhan. Keluarga Xiang Hua mulai mengalami kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang direktur perusahaan tergoda oleh sekretarisnya sendiri. Bukan hanya selingkuh yang dilakukannya, namun dia juga meminta cerai kepada istrinya dan memilih memulai hidup baru dengan sekretarisnya tersebut.

Sebagai anak tunggal, Xiang Hua lebih memilih tinggal bersama ibunya dibanding ayahnya yang pergi meninggalkan mereka begitu saja. Ekonomi keluarga Xiang Hua drastis jatuh sepeninggal ayahnya. Ibunya pun jatuh sakit karena beban pikiran yang berkepanjangan. Xiang Hua sendiri berhenti kuliah karena tak ada lagi yang membiayainya. Beruntung, Xiang Hua rajin menabung dan dengan uang tabungannya, dia membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan.

Dari penghasilan itu, dia berharap bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Jun Liang yang kuliah di luar negeri itu. Dia tidak ingin konsentrasi kuliah Jun Liang berantakan bila mengetahui hal itu.

Oleh karenanya pada setiap surat yang ditulisnya kepada Jun Liang, Xiang Hua tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang masalah keluarganya kepada Jun Liang. Xiang Hua hanya memberitahu Jun Liang bahwa dia masih tetap kuliah dan sudah membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan untuk mengisi waktu luangnya sehari-hari.

Triwulan kedua 2003
Keadaan sepasang kekasih yang terpisah negara itu sepertinya bertolak belakang. Walaupun Xiang Hua berhasil mengangkat ekonomi keluarga, namun dia tidak bisa menghindari cobaan Tuhan yang lain kepada dirinya. Karena seringnya dia melakukan kontak melalui dunia maya internet dengan Jun Liang, Xiang Hua mulai merasakan kelainan pada kedua matanya. Penglihatannya makin lama semakin kabur dan membayang. Semakin hari semakin bertambah parah dan kronis.

Sedangkan belum genap setahun sejak Jun Liang kuliah di Sydney, Australia, dia telah diterima bekerja sebagai seorang wakil manajer di sebuah kantor dengan gaji yang cukup tinggi dan diberikan segala akomodasi lengkap. Jun Liang pun sanggup mengangsur sebuah apartemen mewah yang lengkap dengan segala fasilitasnya, sehingga Guan Cheng pun bisa menikmati masa-masa tuanya tinggal di sana.

Sementara itu, waktu terus berjalan…

Sydney, triwulan 2005
Dua bulan berlalu sudah sejak Jun Liang tidak lagi menerima kiriman email dari Xiang Hua. Dia pun sudah tidak pernah melihat Xiang Hua online di internet. Dia mulai gelisah dan mencoba menelepon Xiang Hua, namun tak pernah mendapat jawaban sedikitpun dari Xiang Hua.

Hari terus berlalu, kegelisahan semakin menghantui dirinya. Apa yang terjadi pada Xiang Hua sehingga membuatnya tidak menghubunginya sama sekali? Rumah tempat tinggal Xiang Hua juga serig menjadi tempat dihubungi Jun Liang melalui telepon, namun tetap tak ada jawaban yang memuaskan.

Dia pun memutuskan untuk segera kembali ke Hong Kong melihat keadaan Xiang Hua sekaligus mencari bukti apa yang terjadi sebenarnya…

Desember 2005
Setelah menitipkan apartemennya kepada seorang koleganya di Sydney, yang diminta tinggal seatap dengan Guan Cheng, ayahnya, Jun Liang pun bersiap untuk kembali ke Hong Kong mencari tahu keberadaan kekasihnya itu.

Ketika tiba di Hong Kong, hari sudah malam. Jun Liang pun menyewa sebuah hotel untuk menginap, dan dikarenakan badannya terlalu lelah menempuh perjalanan jauh, dia memutuskan untuk memulai pencariannya esok pagi.

Keesokan paginya, dengan menyewa sebuah taksi, Jun Liang pun meluncur ke alamat tempat tinggal Xiang Hua. Saat tiba di tempat itu, dia melihat rumah Xiang Hua tidak lagi seperti dulu yang pernah dijumpainya. Rumah tersebut telah dibangun berlantai dua dimana di lantai terbawahnya dijadikan toko bunga.
“Acacia Florist,” Jun Liang membaca papan nama yang tergantung di atas ruko tersebut. “Jadi Xiang Hua memakai bunga akasia sebagai nama toko bunganya ya… hmmm…”

Suasana di toko bunga itu cukup ramai didatangi pengunjung yang membeli. Jun Liang memilih untuk mempelajari situasi lebih jauh dengan tetap berada di dalam taksi yang ditumpanginya.

Satu demi satu orang diperhatikannya. Namun selama beberapa menit dia tidak melihat Xiang Hua yang dicarinya itu. Pada saat itu, seorang pria melangkah keluar toko dengan membawa seikat bunga. Di belakangnya, tampak seorang gadis berlari pelan mengejarnya.
“Tuan, Anda lupa kembaliannya.” Kata gadis itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada pria tersebut yang disambutnya dengan senyum. “Terima kasih,” katanya.
“Siapa gadis itu? Kemana Xiang Hua?” Tanya Jun Liang kepada dirinya sendiri ketika menyadari gadis yang dilihatnya itu bukanlah Xiang Hua. “Tak mungkin ini bukan tokonya. Aku masih ingat sekali alamat rumahnya dan terlebih tokonya bernama Akasia,”

Merasa tak sabar menunggu, Jun Liang pun turun dari taksi, membayarnya dan bergegas ke arah toko bunga tersebut. Sesaat dia tampak celingukan mencari-cari sesuatu, tepatnya seseorang.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan?” terdengar sebuah suara.

Jun Liang menengok ke arah suara itu. Ternyata yang memanggilnya adalah gadis yang tadi dilihatnya.
“Hmm… Aku mencari bunga akasia, apa ada bunga seperti itu dijual disini?” Tanya Jun Liang.
“Maaf, Tuan. Kami tidak menjual bunga itu disini.” Jawab gadis itu.
“Aneh, berani memasang nama toko Akasia tapi tidak menjual bunga akasia.” Kata Jun Liang lagi.
“Bunga Akasia jarang sekali ada yang mencari. Bila Tuan benar-benar memerlukannya, Tuan bisa memesannya dan kembali besok. Kami akan menyediakannya untuk Tuan.”
“Aku membutuhkannya hari ini. Bisa tolong diusahakan?” Tanya Jun Liang mencoba memancing.
“Hmm… Bagaimana ya?” Si gadis tampak bingung dan salah tingkah.

Saat itu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari dalam ruangan toko. “Sarah, ada apa di luar sana?”

Gadis yang bernama Sarah itu berniat menjawab ketika pemilik suara itu keluar dari dalam ruangan sambil mengetuk-ngetuk jalanan dengan tongkat yang dipegang di tangannya.

Terbelalak kedua mata Jun Liang waktu melihat dengan jelas siapa gadis bertongkat yang berjalan keluar ruangan itu. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Dirinya bagai disambar petir di siang bolong saat mengenali gadis itu.
“Astaga!!” hanya itu kata yang sanggup keluar dari bibir Jun Liang saat melihat si gadis bertongkat yang bukan lain adalah Xiang Hua itu.

Selang beberapa detik kemudian, Jun Liang tak kuasa menahan lagi matanya yang mulai berkaca-kaca itu. Pandangannya kosong menatap kekasihnya yang selalu dirindukannya itu, kini telah buta.
“Tuan…” suara Sarah membuyarkan lamunan Jun Liang.
“Oh, maaf…” jawab Jun Liang. Karena tak ingin Sarah melihat apa yang sedang terjadi padanya, buru-buru Jun Liang menjawab.
“Bunganya tidak jadi hari ini, aku pesan untuk besok saja… Tolong dipersiapkan…” lanjut Jun Liang yang segera berbalik arah dan bergegas meninggalkan tempat itu.
“Tuan…” Sarah masih mencoba memanggil Jun Liang, namun yang dipanggil sudah berlalu dengan cepat.
“Siapa dia, Sarah?” Tanya Xiang Hua. “Kenapa tidak kau layani dia dengan baik?”
“Aku tidak tahu, Nona…” jawab Sarah. “Dia datang mencari bunga Akasia.”
“Bunga Akasia?” bergumam pelan Xiang Hua sambil mendoyongkan kepalanya. “Apakah itu dia?”
“Nona… nona kenapa?” kata-kata Sarah menyadarkan lamunan Xiang Hua.
“Oh, tidak… Mungkin aku salah, tidak mungkin tadi itu dia…” desis Xiang Hua lirih.
“Maksud Nona tadi itu Tuan Jun Liang, kekasih Nona yang sering Nona ceritakan itu?” Tanya Sarah.
“Aku tidak yakin itu dia, hanya sekilas kudengar dari suaranya.” Kata Xiang Hua. “Aku kenal suaranya.”
“Nona, besok dia akan kembali lagi kemari… Kita bersama-sama menemuinya ya?”

Xiang Hua mengangguk. “Ya… Aku ingin tahu apa dia itu benar orangnya…”

Di saat yang sama, Jun Liang yang telah berada di dalam sebuah taksi panggilannya, tak lagi dapat menahan derai air matanya menetes.
“Xiang Hua… jadi ini sebabnya kenapa selama ini kamu sudah tidak online dan membalas suratku lagi? Bahkan untuk meneleponpun kamu sudah tidak bisa?” kata Jun Liang pada dirinya sendiri.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu hingga kamu menjadi seperti itu?” Jun Liang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu pasti menderita dengan kebutaan seperti itu. Aku tidak ingin kamu mengetahui kalau aku berada disini. Aku tahu kamu pasti sedih bila aku mengetahui kamu buta.”
“Xiang Hua… ijinkan aku menolongmu. Aku akan membalas kebaikan dan pertolonganmu semasa aku masuk sekolah disini. Tuhan, ijinkan aku menolongnya…”

Ketika keesokan harinya Jun Liang kembali ke toko bunga tersebut mengambil pesanannya, dia memberi tanda kepada Sarah agar Sarah bisa mengikutinya ke sebuah café kecil di seberang jalan. Disana, Jun Liang mengetahui kebenaran tentang semua yang terjadi pada keluarga Xiang Hua.
“Sejak kepergian ayahnya, Nona berjuang sendiri di toko bunga itu. Sampai akhirnya seorang temannya tak tega melihatnya dan menawarkan bantuan dengan memasukkanku kesana.” Sarah memulai ceritanya. “Ibunya sakit-sakitan dan penghasilan yang didapat Nona tidak begitu cukup untuk biaya berobat ibunya. Mata Nona sendiri semakin hari semakin kabur pandangannya dan akhirnya buta total. Tapi dia masih belum menyerah. Dia masih tetap berjualan walau harus dengan bantuan tongkat.”
“Jika aku minta tolong padamu, maukah kau membantuku?” Tanya Jun Liang.
“Sudah tentu, Tuan. Aku ingin melihat Nona kembali bahagia. Aku tidak tega melihatnya setiap malam memegang fotomu sambil menyebut-nyebut namamu.” Sarah mulai menitikkan air matanya ketika dia melanjutkan bercerita.
“Diam-diam aku sering mendengar dia berkata bahwa dia tidak ingin kau tahu kalau dia sudah tidak dapat melihat lagi. Dia berharap kau sukses disana dan tidak pernah kembali lagi. Dia berharap kau bisa melupakannya seperti ayahnya melupakan ibunya ketika sukses. Dia tidak ingin kau kembali dan melihat keadaannya seperti ini. Dia tidak ingin kau bersedih. Karena itu semua, dia pun berhenti dan tidak menghubungi dirimu lagi dan tidak pernah menjawab semua teleponmu.”
“Dia ingin kamu melupakannya. Cukup hanya dia saja yang ingat padamu. Dia akan selalu mengenangmu melalui bunga Akasia itu. Bunga yang pernah kau kenalkan padanya di taman sekolah. Bunga yang tak pernah ada di toko bunga Akasia, karena dia takkan pernah menjual bunga kenangannya itu kepada siapapun juga.”
“Dia pernah berkata, bila suatu saat ada seorang lelaki datang ke toko dan memaksa mencari bunga Akasia, itulah dirimu. Dia akan menunggu saat itu tiba. Hanya saja, dia berkata, bunga Akasia yang akan dicari lelaki itu sudah layu dan bukan Akasia yang segar lagi. Bunga Akasia yang sudah hidup di dunia yang serba gelap. Bunga Akasia yang sudah sepantasnya hilang dari dunia sang kumbang.”

Jun Liang menggigit bibir menahan pedih mendengar cerita Sarah itu. Matanya berkaca-kaca.
“Tuan, aku mohon. Tolonglah Nona Xiang Hua…” Sarah tak sanggup lagi melanjutkan ceritanya. Tangisnya meledak saat itu.

Jun Liang hanya bisa menunduk beberapa saat dan ketika dia mengangkat wajahnya kembali, kedua matanya berair dan merah.
“Sarah, aku mohon, jangan beritahu bila aku sudah kembali.” Kata Jun Liang setelah terdiam sekian lama. “Aku pasti akan menolong dia, belahan jiwaku itu. Tapi aku butuh bantuanmu.”
“Apapun akan kulakukan, Tuan, asalkan Nona Xiang Hua bisa bahagia kembali.”
“Bagus kalau begitu. Bantu aku menjalankan rencana ini ya…” kata Jun Liang yang kemudian menjelaskan semua rencananya menolong Xiang Hua kepada Sarah.

24 Desember 2005
Dengan alasan Sarah mendapat sumbangan dari semua teman-teman Xiang Hua untuk biaya pengobatan matanya, dan dengan perjuangan yang susah payah, akhirnya Sarah berhasil membujuk dan meyakinkan Xiang Hua untuk pergi ke Rumah Sakit - yang sebenarnya ditunjuk oleh Jun Liang - untuk melakukan operasi.

Di saat dimana hampir sebagian besar penduduk Hong Kong hanyut dalam perayaan di malam Natal, Xiang Hua harus menjalani operasi matanya. Sementara di ruangan berbeda, ibunya mendapatkan perawatan dari pihak kedokteran di Rumah Sakit yang sama.
“Tuan Jun Liang,” kata dokter yang melakukan operasi mata Xiang Hua. “Operasi mata Xiang Hua berjalan lancar dan dia sudah dapat melihat kembali seperti sedia kala. Namun, untuk 3 hari ini, matanya belum boleh mendapatkan cahaya dulu dan setelah 3 hari, balutan di matanya baru boleh dibuka.”
“Terima kasih, dokter.” Ujar Jun Liang tersenyum gembira. Di sampingnya, Sarah pun tersenyum lebar.
“Terima kasih, Tuan.” Kata Sarah. “Bila bukan berkat Tuan, mungkin…”
“Jangan lanjutkan lagi…” potong Jun Liang. “Berterima kasihlah kepada yang di atas.”

27 Desember 2005
Balutan di mata Xiang Hua dibuka oleh suster, dengan diperhatikan oleh dokter.
“Buka mata Anda pelan-pelan, Nona…” kata dokter member petunjuk.

Xiang Hua menuruti. Dibukanya kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Sesaat dia mengatupkan kembali matanya. Karena tak tahan melihat terang setelah sekian lama hidup di dunia kegelapan.

Ketika membuka matanya kembali, pandangannya tampak samar.
“Dokter, kenapa penglihatanku masih samar begini?” Tanya Xiang Hua.
“Tentu saja. Anda masih perlu adaptasi sambil diberikan obat tetes mata.” Kata dokter menerangkan. “Bila cepat, dalam waktu 2 hari, mata Anda akan normal dan Anda bisa melihat kembali seperti dulu.”

29 Desember 2005
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk dari jendela, membuat Xiang Hua terbangun. Ketika dia membuka matanya dan melihat ke langit-langit ruangan dimana dia terbaring, saat itu dia menyadari bahwa pandangannya sudah pulih seperti sedia kala.

Dengan hati senang dan senyum menghias di bibirnya, dia pun bangun dan duduk di tempat tidur. Sudut matanya menangkap sesuatu berwarna kuning yang tampak tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Xiang Hua meraih benda itu.
“Bunga Akasia…” desis Xiang Hua ketika menyadari benda itu. “Kenapa bisa berada disini?”
“Sarah…?” Xiang Hua mencoba memandang ke sekeliling ruangan, menduga Sarah ada disana dan meletakkan bunga tersebut di meja. Tapi disana tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Xiang Hua menatap kembali bunga Akasia yang ada di genggamannya. Ketika saat itu dia menyadari, ada selembar kartu yang tertulis tangan. Dia mengambil kartu itu dan membacanya.
“Untuk Gadis Akasia. Apakah kau tahu apa arti ketiga dari bunga Akasia?”
“Cinta Suci.” Xiang Hua menjawab pertanyaan di kartu itu.
“Nona, aku datang!” tahu-tahu terdengar sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya membuyarkan lamunannya.

Begitu melihatnya, segera saja Xiang Hua bertanya. “Sarah, apa arti semua ini?”
“Maaf, Nona.” Kata Sarah sambil tersenyum. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Namun, aku ingin Nona menutup mata sampai aku meminta Nona membukanya kembali.”
“Untuk apa?” Tanya Xiang Hua bingung.
“Kumohon, sekali ini, lakukan untukku, Nona. Nanti Nona akan mengetahui jawabannya.”

Xiang Hua pun menuruti permintaan Sarah dan menutup matanya. Pada saat itulah, seorang lelaki masuk ke ruangan itu dan berdiri tepat di depan Xiang Hua.
“Sekarang, Nona boleh membuka mata…” kata Sarah.

Ketika membuka matanya, tampaklah sesosok tubuh yang sudah tidak asing lagi bagi Xiang Hua. Pemilik sosok tubuh itu tersenyum menatapnya.
“Jun Liang…….” Xiang Hua tampak histeris dan tak kuasa menahan untuk segera memeluk sosok tubuh di hadapannya yang ternyata memang Jun Liang itu.
“Apa kabar, Gadis Akasia-ku?” Jun Liang pun memeluk Xiang Hua dalam dekapan penuh cinta.

Sepasang kekasih itu pun melepas rindu satu sama lain dalam hiasan air mata kebahagiaan, walau ada senyum yang menghias di wajah keduanya. Melihat situasi itu, Sarah pun tak tahan ikut meneteskan air mata kebahagiaan.

TAMAT

PUISI mayang amalia




“HILANG”
Oleh : Mayang A


Tak ada lagi tawa
Tak ada lagi ceria
Semua hilang terkubur dalam luka
Ucap janjimu melayang hilang bersama angin
Hatimu ikut hilang
Bersama asa yang tak berujung
Sadarkah kau apa jadinya perasaanku ini
Saat kau pergi ..
Pergi meninggalkan sejuta kisah,
Meninggalkan seorang anak manusia,
Meninggalkan hati yang terlalu rapuh ini
Entah apa kata yang layak untuk mencemooh engkau
Mungkin hanya isyarat-isyarat ini yang bisa menggambarkannya
Bayangkan saja !!
Apa pantas sehelai daun tiba-tiba meninggalkan
Tangkainya yang rapuh ???
Kau memang daun tak tau diri
Pergi begitu saja tanpa bertrimakasih,
Setelah sang tangkai telah menjadi tempat engkau tinggal
Ingin rasanya aku menjerit dalam hening
Saat kau pergi begitu saja
Dariku dengan meninggalkan segudang kenangan
Tapi apa daya,aku hanya bisa diam dalam hujan
Menerima kenyataan dengan harapan
Kau bisa singgah lagi
Dengan kisah yang sama layaknya dulu
Dan itu memang indah sayang ……
Disini ada hati yang setia menanti
Dengan harapan, yang dinanti akan
Membuktikan janji yang kau rangkai dahulu
Jika iya???
Aku akan sangat bahagia ^_^

cuma iseng (masih belajar.. hehe)

“DIA KEMBALI” Oleh : Mayang A Hujan turun lagi pagi ini, waktu menunjukan pukul 05.00 WIB “Mo...Mimo ayo bangun, solat subuh dulu.. A...